Liputan6.com, Natuna - Ketidaksengajaan berujung semangat tiada padam. Adalah Heru Diwan Arpas, pemuda yang dengan segenap ingin menyelamatkan kampung sekarat, kampungnya yang sekarat, di salah satu pulau terluar Indonesia.
Penyelamatan ini dilakukan dengan memastikan penduduk Kampung Segeram tak lagi berkurang. "Dulu bapak saya cerita, di sini sempat ada 100 KK lebih," katanya di musalah tua Kampung Segeram, Kabupaten Natuna, Selasa, 24 September 2019.
Tidak adanya SMP membuat kampung yang secara literatur tercatat sebagai wilayah pertama yang didiami manusia di Natuna ini perlahan ditinggal warganya. Hingga sekarang tinggal 30 rumah saja dengan penduduk kurang dari 100 jiwa.
Suatu sore dpada 2017 itu tak disangka Heru bakal jadi titik awal baktinya pada kampung halaman. "Saya lihat ada lelaki pakai semacam almamater dengan lambang universitas saya. Langsung saya tegur, 'Mau ngapain ke Segeram?'," katanya mengawali cerita.
Lelaki yang dimaksud Heru adalah salah seorang relawan Bakti Nusantara 2019, Sayed Fauzan Riyadi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAh), tengah melakukan riset awal untuk membangun wilayah tertinggal dan telah berkeliling Kabupaten Natuna.
"Beliau (Sayed) minta dibuatkan kopi, saya buatkan. Setelah jadi, beliau malah minta minta keliling kampung dulu buat lihat-lihat," kata lelaki 29 tahun tersebut. Sembari menemani, Heru bercerita tentang lara kampugnnya yang semakin sepi.
Singkat cerita, pertemuan itu selesai dengan mereka bertukar nomor telepon. Seminggu kemudian, Heru dikabari bahwa bakal diadakan semacam rapat di Tanjungpinang membahas bantuan yang bakal diberikan pada Kampung Segeram.
"Langsung saya cek kapa, semuanya. Saya berangkat ke Ranai, langsung sambung jalur laut ke Tanjungpinang, di kapal selama dua hari dua malam," tuturnya.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Wujudkan Asa Pendidikan di Kampung Segeram
Subuh sampai di Tanjungpinang, siang harinya Heru langsung ikut rapat degan keputusan Yayasan Tunas Bakti Nusantara lewat kegiatan Bakti Nusantara (BN) akan membangun SMP satu atap di Kampung Segeram.
"Saya besoknya langsung diminta pulang lagi untuk cari tanah. Padahal, kapal ke Ranai cuma ada seminggu sekali. Akhirnya cari-cari, dapat kapal lain, tapi waktu temphnya jadi tiga hari tiga malam, Ya sudah tdak apa-apa," tuturnya.
Sesampainya di rumah, Heru harus memberi tiga opsi lokasi yang nantinya dibangun gedung SMP. "Di Segeram kan tidak ada sinyal full ya. Jadi, di rumah itu handphone saya gantung di satu tempat, di situ biasanya kadang dapat sinyal untuk mengabari pihak BN," paparnya.
Seminggu kemudian, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) datang untuk survei lokasi. Lokasi yang diplih, kata Heru, malah bukan dari tiga opsi yang diberikan. "Mintanya tanah di samping SD," katanya.
Setelah tanya-tanya, Heru tahu bahwa tanah tersebut milik seorang warga Sedanau, salah satu desa terdekat dari Segeram. Hanya diberi waktu 24 jam untuk 'mengamankan' lahan membuat Heru berpikir cepat.
"Saudaranya kan ada warga sini, saya minta tolong telepon tanyakan, apakah tanah miliknya mau dijual. Katanya tidak. Saya yang langsung telepon, masih tidak mau jual juga," cerita Heru.
Penolakan itu membuat Heru berpikir, ia harus langsung bertemu pemilik tanah diketahui bernama Hambali tersebut. Menempuh perjalanan laut dengan pong-pong (perahu kecil) selama satu jam, Heru akhirnya sampai di rumah sang empunya tanah.
"Saya langsung to the point mau beli tanah. Masih jawab tidak mau jual. Akhirnya saya cerita itu tanah mau dibangun gedung SMP, supaya anak-anak Segeram bisa sekolah tanpa harus keluar kampung, supaya warga Segeram lama-lama tidak habis," Heru menerangkan.
Mendengarnya, sang pemilik tanah langsung megajak Heru kembali ke Segeram untuk mengukur tanah. Setelah selesai, Hambali diantar kembali ke Sedanau untuk memberi keputusan akhir.
"Ia bilang ke saya, tanah itu merupakan warisn terakhir orangtuanya, sebenarnya tidak mau dijual, Bahkan, sudah mau ditanami cengkeh, ia sudah beli bibt cengkeh premium," kata Heru. Tapi, semangat Heru membuat Hambali akhirnya luluh dan menjual tanah seharga Rp35 juta.
"Langsung saya bayar (Rp)5 juta dulu. Tanda tangan kwitansi dan saya minta semua suratnya diurus. Setelah selesai, baru saya bayar penuh," katanya.
Pertahankan 8 KK di Kampung Segeram
"Setelah itu saya telepon ke pihak BN kalau tanah sudah okay," kata Heru. Tdak lama kemudian, panitia dipanggil ke Jakarta dan dua bulan setelahnya pembangunan gedung SMP dimulai. "Akhir 2018 selesai (gedung) SMP," tuturnya.
Heru bercerita, sepanjang proses pembuatan gedung SMP, ia diminta mengawasi awalnya lima, jadi delapan anak berarti delapan KK supaya tidak meninggalkan Segeram. Sebelum gedung jadi, mereka menumpang sekolah di bangunan SD. "Dua tahun itu akhirnya delapan KK bertahan di Segeram," ucapnya.
Tak lama setelah gedung sekolah selesai, Dinas Pendidikan Natuna langsung menunjuk struktur. "Saya didorong untuk melamar jadi guru. Okay saya maju. Sekarang saya mengajar kesenian dan olahraga di SMP 3 Satap Bunguran Barat," Heru menjelaskan.
Sejak Januari 2019, total ada empat guru di SMP. "Dua orang, termasuk saya, asli Segeram, satu guru dari Kelarik, satu lagi dari Ranai," katanya. Pembangunan pun berlanjut pada gedung perpustakaan sekalugus laboratorium oleh pihak BN.
Pembangunan selesai, Heru sempat drop sampai harus masuk ICU di RSUD Natuna, Ranai. "Lagi sakit begitu, protokoler menteri (pendidikan dan kebudayaan) hubungi saya katanya dalam perjalanan ke Segeram," katanya.
"Saya langsung minta pulang, bilang sama dokternya sudah sehat. Sampai ngeyel, tapi tidak dikasih juga. Akhirnya, saya langsung hubungi pak RW yang bersama warga dengan luar biasanya menyiapkan semua," tambah Heru.
Satu hari sebelum SMP 3 Satap diresmikan, Rabu, 18 September 2019, Heru baru diperbolehkan pulang setelah dirawat selama tiga hari tiga malam di rumah sakit. "Salaman sama menteri masih doyong badan, tapi saya senang sekali Segeram mendapat perhatian begitu besar," tuturnya.
Kembali dari Perantauan
Heru mengatakan, dirinya sendiri berada di Segeram hanya sampai kelas satu SD. Ia keluar kampung ikut orngtua merantau ke Kabupaten Lingga, hingga sampai kelas 4 SD, orangtua Heru kembali ke Segeram dan ia harus melanjutkan sekolah sendiri.
"Setelah itu, saya kerja apa saja yang penting bisa makan, bisa sekolah. Seringnya kerja di rumah orang supaya boleh tinggal di sana juga," Heru mengisahkan.
Kerja serabutan terus dilakukan Heru sa,pai menempuh pendidkan di SMK jurusan perikanan. "Setelah itu baru ke Tanjungpinang, kuliah di UMRAH ambil juruan Kelautan dan Perikanan, menyambung jurusan di SMK," katanya.
Bekerja sambil kuliah terus dilakukan Heru, Di masa kuliah, ia lebih sering mendampingi orang untuk menyelam. "Saya memang sukanya diving," ucapnya.
Setelah lulus, ia sempat bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memegang sebuah penelitan selama setahun. "Setelah kontrak habis, saya putuskan kembali ke Segeram," ujarnya.
Baru 1,5 tahun kembali ke Segeram dan langsung memegang proyek membangun gedung SMP membuat Heru sempat diremehkan. Bukan hanya karena dianggap 'orang baru', tapi juga usia Heru yang masih terbilang muda untuk warga Segeram.
"Apalagi, warga sini sudah kenyang makan janji. Mereka juga pada tanya ,'Memang betul jadi?' terus saja begitu. Pas gedung SMP berdiri, baru yakin mereka," tuturnya.
Sedikit perubahan membuat asa Heru melambung pada kemajuan kampung halamannya. Minimal pemenuhan tiga kebutuhan mendesak, yakni listrik, akses jalan bagus, dan ketersediaan akses jaringan.
"Jadi, setidaknya Segeram tidak hanya jadi segram, tapi bisa jadi dua atau tiga gram," tutupnya mengibaratkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perjuangan Lelaki Selamatkan Kampungnya yang Sekarat di Ujung Indonesia"
Post a Comment