Liputan6.com, Jakarta - Berapa banyak ruang kosong yang tersisa di lemari baju Anda saat ini? Bila nyaris tak ada celah, bisa jadi banyak koleksi pakaian lama tak lagi terpakai.
Bukan Anda saja yang mengalaminya, banyak di luar sana menghadapi hal serupa. Tumpukan baju yang tak terpakai itu bisa jadi disebabkan durasi masa pakai yang sudah habis.
Amanda Zahra Marsono, Public Relation and Project Manager #TukarBaju, menerangkan rata-rata perempuan hanya memakai baju yang sama tujuh kali dengan lama periode kurang lebih sembilan bulan. Lewat jangka waktu itu, baju tersebut hanya ditumpuk saja atau mungkin disumbangkan.
"Setelah sembilan bulan, pasti ada hasrat beli baju baru," kata dia dalam acara Travel More Waste Less di Jakarta, Sabtu, 27 Juli 2019.
Di sisi lain, kebiasaan tersebut menyumbang polusi tekstil secara signifikan. Amanda menyebut, industri fesyen termasuk industri yang paling berpolusi di dunia, meliputi polusi air, udara, tanah, hingga kemanusiaan.
Emisi karbon yang dihasilkan industri fesyen mencapai 10 persen dari total emisi karbon dunia. Dibandingkan industri aviasi yang hanya senilai 2 persen, tingkat polusi udara yang dihasilkan industri fesyen jauh lebih tinggi.
"Padahal, pesawat terbang itu kan besar ya dibandingkan baju," katanya.
Sementara, polusi air disebabkan oleh pewarna kimia. Sebanyak 50 ribu ton pewarna kimia dibuang begitu saja ke sungai. Kalau pun menggunakan bahan katun asli, ada 2.700 liter air yang dipakai untuk bisa memakai katun sebagai pakaian jadi.
"2.700 liter air itu setara dengan kebutuhan air manusia selama tiga tahun," ucap dia.
Bagaimana Memperpanjang Masa Pakai?
Industri fast fashion memperparah kondisi lingkungan. Tren yang berganti cepat, bahkan hanya dalam hitungan minggu, membuat kerusakan yang terjadi kian masif. Belum lagi dampak kemanusiaan yang terjadi.
Manda menyebut, ada ketimpangan dalam pendapatan antara buruh penjahit dan brand besar yang mendapat keuntungan dari produk massal itu. "Pakaian yang biayanya hanya 60 sen bisa dijual 500 dolar sepotong. Atau, rok seharga 1 dolar dijual menjadi 100 dolar," kata dia.
Maka itu, ia menekankan pentingnya memperpanjang masa pakai. Menurut riset yang dilakukan lembaga nonprofit WRAP, memperpanjang masa aktif pakaian selama sembilan bulan akan menurunkan emisi karbon, air, dan sampah tekstil sekitar 20-30 persen. Biaya yang dikeluarkan juga akan berkurang sekitar 5 juta pound sterling.
Salah satu cara yang digalakkannya adalah dengan gerakan tukar baju. Anda membawa baju layak pakai yang tak lagi disukai untuk mendapatkan pakaian baru dari rekan Anda. Pasalnya, donasi pakaian seringkali menimbulkan masalah baru daripada manfaat bagi orang lain.
"Ini menghasilkan efek ganda. Bila sudah berkomitmen untuk menukar baju, Anda mau tak mau harus menyayanginya agar nantinya layak ditukarkan," kata dia.
Pikir Panjang
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menekan sampah tekstil adalah memikirkan masak-masak pakaian yang akan dibeli. Asri Puji Lestari, influencer dan penggiat zero waste, menyebut lebih suka lama-lama mencari baju di awal dibandingkan harus pusing-pusing memikirkan baju yang menumpuk di akhir.
Ia sedapat mungkin memilih pakaian yang mudah dipadupadankan agar bisa menghasilkan beragam gaya. "Total item di lemari itu hanya sekitar 40," ujarnya.
Kalau pun membutuhkan pakaian yang bakal jarang digunakan kemudian, ia memilih meminjamnya dari teman. "Misalnya coat, satu saat gue pinjem dari temen yang ini, nantinya pinjem dari yang lain lagi. Gantinya, mereka bisa pinjem dari isi lemari gue," ujarnya.
Solusi lainnya datang dari Jenny Primasari, founder Zero Waste Nusantara sekaligus pemilik Khaya Heritage. Ia menyarankan untuk membeli pakaian multifungi. Contohnya adalah kain yang bisa dipakai menjadi scarf, rok, hingga atasan.
"Aku terapkan zero waste cutting, cara motong kain yang tidak hasilkan perca. Jadinya seperti puzzle, interlocking, enggak ada sisaan," katanya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Duh, Rata-Rata Masa Pakai Baju Perempuan Hanya 9 Bulan"
Post a Comment